Ilustrasi cara menentukan alur cerita, sumber gambar Buku Seni Budaya SMP/MTS Kelas 7 oleh Sudaryati & Booiman 2020, fragmen adalah suatu cerita, petikan cerita, atau lakon yang dipentaskan, baik di depan kelas maupun di atas panggung. Fragmen juga sering disebut sebagai pementasan teater yang memiliki durasi singkat. Bagi kamu yang ingin bermain fragmen, penting sekali untuk mengetahui cara menentukan alur cerita untuk naskah diketahui bahwa fragmen hanya menampilkan beberapa adegan inti saja dengan alur yang sederhana. Fragmen bisa digunakan sebagai pentas sederhana di sebuah pertunjukan Alur Cerita untuk Naskah FragmenIlustrasi cara menentukan alur cerita, sumber gambar cara menentukan alur cerita untuk naskah fragmen? Simak penjelasannya di bawah iniTema adalah langkah pertama yang perlu dilakukan dalam menyusun naskah drama. Tema adalah ide pokok dari keseluruhan naskah. Dengan mengetahui tema, maka kita juga dapat mengetahui pesan pengarang yang ingin disampaikan dalam cerita merupakan jalan cerita dari tema yang telah dipilih. Alur juga disebut rangkaian cerita yang tersusun dari awal hingga akhir. Tahap persiapan alur dapat diketahui dari masalah-masalah yang menyusun alur cerita dengan utuh, lanjutkan dengan menyusun adegan yang akan dipentaskan pada setiap babak. Setiap adegan akan menunjukkan urutan tokoh yang tampil. Begitu pula dengan memilih babak atau kejadian, sehingga dapat menampilkan adegan yang urut dan saling Membuat Dialog-Dialog TokohPerlu diketahui bahwa drama tidaklah sama dengan karya sastra yang lain. Perbedaan yang paling terlihat yaitu terletak pada dialog dialog yang dibangun antartokoh. Saat membuat dialog untuk setiap tokoh, Anda perlu menyesuaikannya dengan karakter yang penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa cara menentukan alur cerita untuk naskah fragmen tidak jauh berbeda dengan membuat alur pada jenis cerita yang lain. Setelah mengetahui cara menentukan alur cerita fragmen, selanjutnya kamu dapat mementaskan cerita yang telah disusun tersebut dengan baik dan maksimal.
1 Cara Memilih Lakon dan Cerita Teater Daerah Memilih lakon dan cerita adalah pekerjaan yang gampang-gampang susah. Dibutuhkan konsentrasi dan kejelian serta pengalaman yang memadai supaya pemilihan tersebut sesuai dengan tema. Kesesuaian lakon dan tema adalah dua hal yang sangat penting, keduanya mendasari berhasil tidaknya teater digelar. Tulisan ini membahas tentang cara analisis teks lakon dengan cara strukturalisme Levi-Strauss. Sebuah cara analisis yang dapat digunakan sebagai alternatif dalam memahami kandungan sebuah naskah lakon. Dengan pendekatan penelitian kualitatif, dalam tulisan ini diuraikan tentang konsep-konsep dasar analisis lakon menggunakan pendekatan strukturalisme yang direkomendasikan oleh Levi-Strauss. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Vol. 4, No. 2, Oktober, 2021 Postgraduate Program Institute of The Arts Padangpanjang MELIHAT TEKS LAKON SEBAGAI MITOS ANALISIS DRAMA DENGAN STRUKTURALISME LEVI-STRAUSS Dede Pramayoza Program Studi Seni Teater, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Padangpanjang Jl. Bahder Johan, Padangpanjang Timur, Padangpanjang, Sumatera Barat 27128 PENDAHULUAN Model analisis struktur dan tekstur yang direkomendasikan George Kernodle adalah cara analisis lakon yang lazim digunakan dalam analisis drama Kernodle, 1967. Bisa dikatakan bahwa cara analisis itu menjadi perpektif klasik dalam perkembangan ilmu seni teater di ABSTRACT This study describes the analysis method of play text based on Claude Levi-Strauss method, which is commonly referred as Structuralism. The research method used is a qualitative method, with a literature study data collection technique, namely by studying a thesis written by Tatang Abdullah. The analytical method applied is descriptive analysis, by finding understanding through the description of the data. The analysis stages consist of 1 descriptions of myths and myths, which are basically similar to descriptions of the plot of the drama and the journey of the characters; 2 the codification of mythical structures, which is similar to dramatic rhythm analysis; and 3 ideological identification in myth, which is similar to the search for drama themes. The result of the research shows that the play text that departs from the richness of folklore can be treated as a myth and analyzed with Levi-Strauss structuralism. This method of analysis can be an alternative in understanding a play text, which is one of the important tasks of dramaturgy. Keywords structuralism; Levi-Strauss; play text; drama analysis; dramaturgy ABSTRAK Penelitian ini menguraikan tentang metode analisis teks lakon berdasarkan cara Claude Levi-Strauss, yang lazim dinamakan sebagai Strukturalisme. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif, dengan teknik pengumpulan data studi pustaka, yakni dengan mempelajari sebuah tesis yang ditulis Tatang Abdullah. Metode analisis yang diterapkan adalah analisis deskriptif, dengan cara menemukan pemahaman melalui uraian data. Tahapan analisis terdiri atas 1 deskripsi mitos dan miteme, yang pada dasarnya serupa deskripsi atas alur drama dan perjalanan karakter; 2 kodifikasi struktur mitos, yang mirip dengan analisis irama dramatik; dan 3 identifikasi ideologi dalan mitos, yang mirip dengan pencarian tema drama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa teks lakon yang berangkat dari kekayaan folklore dapat diperlakukan sebagai sebuah mitos dan dinalisis dengan strukturalisme Levi-Strauss. Cara analisis ini dapat menjadi alternatif dalam memahami suatu teks lakon, yang merupakan salah satu tugas penting dramaturgi. Kata Kunci strukturalisme; Levi-Strauss; teks lakon; analisis drama; dramaturgi Vol. 4, No. 2, Oktober, 2021 Postgraduate Program Institute of The Arts Padangpanjang Indonesia. Hampir semua analisis atas lakon dilakukan dengan melihatnya berdasarkan plot, karakter, dan tema. Sementara itu tinjauan atas genre lakon, kekhasan, konvensi, dan gaya lakon masih jarang dilakukan. Ditinggalkannya hal-hal yang terakhir ini dalam analisis teks dramatik tampaknya dilandasi oleh sebuah kesulitan tersendiri yang ditimbulkannya, terutama jika berhadapan dengan teks-teks lakon yang diproduksi di Indonesia. Pengamatan lebih saksama atas lakon-lakon Indonesia menunjukkan bahwa berbeda dengan lakon-lakon Barat’, lakon-lakon Indonesia memiliki identifikasi jenis, konvensi, dan gaya yang relatif tidak bisa begitu saja dilihat ekivalen dengan, misalnya, komedi-tragedi serta realisme-non realisme yang berlaku di gelanggang teater Barat’. Alternatif model analisis atas struktur lakon-lakon di Indonesia kiranya pantas dipikirkan, mengingat analisis lakon atau analisis teks dramatik merupakan salah satu hal penting dalam produksi seni teater, di samping tentunya analisis pertunjukan atau analisis teks teatrikal itu sendiri. Seperti dinyatakan Keir Elam, kedua teks ini saling berkaitan dalam konteks produksi teater. Karena itu, selain untuk kebutuhan kajian seni teater dan drama, analisis lakon juga dibutuhkan dalam kerangka produksi pertunjukan teater Elam, 1980. Dramaturgi, satu ilmu dasar dalam seni teater, di masa kini tidak lagi dipahami sekadar sebagai suatu disiplin yang mempelajari tentang hukum dan konvensi drama, melainkan juga teorisasi atas struktur dramatik dan logika internal teks lakon tertentu serta pementasannya Pramayoza, 2013a. Artinya, selain berkaitan dengan struktur internal dari sebuah teks lakon, yang berkaitan dengan susunan elemen-elemen formal lakon konstruksi narasi, karakter, kerangka waktu dan aksi panggung, dramaturgi juga dapat merujuk kepada unsur-unsur eksternal yang berkaitan dengan pementasan, konsep di balik pementasan, nilai politis pementasan, dan pertimbangan respons penonton Luckhurst, 2005. Pengertian dramaturgi serupa ini, mengandaikan pentingnya penafsiran teks lakon oleh sutradara, untuk dapat menentukan penyikapan atas teks lakon tersebut dalam rangka menuju ke pementasan multi dimensional, atau dengan kata lain berkaitan dengan tindakan interpretatif dalam penciptaan pementasan teater. Apalagi, dewasa ini dramaturgi telah memanfaatkan beberapa pendekatan lain, untuk membaca tanda-tanda yang terdapat suatu teks lakon dan teks pementasan, atau bahkan membaca wacana yang memberi roh’ bagi suatu produksi seni teater. Bahkan, dramaturgi juga telah mencoba menjelaskan faktor-faktor yang menghasilkan suatu pola dramaturgi, berdasarkan tinjauan atas faktor-faktor kesejarahan dan sosiologi-budaya. Semiotika teater, adalah satu cara analisis yang kerap kali digunakan. Suatu cara pandang, yang melihat suatu pementasan teater sebagai suatu bentuk sistem penandaan atau sistem tanda Pramayoza, 2013b. Analisis drama itu sendiri, adalah salah satu tugas penting dari dramaturg, atau dengan kata lain peran penting dramaturgi dalam teater. Seorang Vol. 4, No. 2, Oktober, 2021 Postgraduate Program Institute of The Arts Padangpanjang dramaturg, umumnya diminta untuk berperan sebagai Manajer Sastra Literary Manager yang bertugas membaca dan membuat laporan atas suatu naskah drama, atau teks lakon yang akan dipentaskan. Berdasarkan itu, seorang dramaturg kemudian membuat rekomendasi tentang naskah drama atau teks lakon kepada sutradara atau direktur artistik untuk menjadi pertimbangan-pertimbangan utama dalam produksi Romanska, 2007. Pementasan-pementasan teater di Indonesia dewasa ini semakin banyak yang berangkat dari kekayaan folklore lokal Indonesia sendiri. Berbagai pementasan itu berangkat dari sebuah naskah lakon yang terkadang tidak sepenuhnya dapat didekati dengan analisis lakon atau analisis drama konvensional. Namun demikian, di dalam pementasan itu tentunya tetap terdapat adanya lakon, atau kisah dramatik, sebab mustahil dapat menjadi pementasan teater tanpa adanya sifat tersebut. Namun demikian, folklore tersebut telah mengalami transformasi. Sebagai contoh dari transformasi ialah apa yang dilakukan oleh Yusril Katil sutradara dan dengan Rhoda Grauer dramaturg dalam Under The Volcano, yang berangkat dari Syair Lampung Karam karya Muhammad Saleh Pramayoza et al., 2018. Atau apa yang tampak pada pementasan Nostalgia Sebuah Kota, karya sutradara Iswadi Pratama, yang berangkat dari penggalan puisi Gusrizal et al., 2021. Hal serupa terjadi pula dalam karya-karya yang berangkat dari legenda atau kaba, sebagaimana tampak dalam Pray For Sabai Darmadi et al., 2016, bahkan dalam teater rakyat sebagai mana tampak antara lain dalam karya Keangkuhan karya Jonhar Saad dalam pertunjukan Dulmuluk Fitria et al., 2016. Berbagai fenomena terjadinya transformasi teks bukan drama menjadi teks drama tersebut, tentunya membutuhkan peranti analisis. Sebab, pembacaan atas berbagai karya dramatik serupa itu tidak sepenuhnya dapat dilakukan dengan konsep struktur dan tekstur ala Kernodle. Berangkat dari kenyataan itu, tulisan ini dimaksudkan sebagai suatu tawaran atas model analisis lakon dengan memanfaatkan peranti ilmu lain, dalam hal ini antropologi, secara lebih khusus antropologi struktural Claude Levi-Strauss, dengan melihat berbagai karya dramatik baru tersebut sebagai sebuah mitos. Uraian dalam tulisan ini didasarkan pada sebuah tinjauan atas satu tesis di program studi Pascasarjana Antropologi UGM Yogyakarta. Tesis yang dikerjakan oleh Tatang Abdullah tersebut, mencoba menelisik tiga lakon karya Arthur S. Nalan dengan menggunakan metode analisis struktural Levi-Strauss, salah satu pendekatan yang cukup populer dalam bidang antropologi mutakhir. Analisis struktural Levi-Strauss sendiri telah banyak diterapkan pada berbagai karya satra, baik karya Sastra Modern maupun sastra lisan. Namun penerapan atas teks lakon masih sangat jarang dilakukan. Analisis atas karya sastra dengan pendekatan strukturalisme Levi-Strauss di Indonesia, dipelopori Heddy Shri Ahimsa-Putra, dengan menganalisis karya-karya novel Umar Kayam Ahimsa-Putra, 2006. Adapun penerapan atas Vol. 4, No. 2, Oktober, 2021 Postgraduate Program Institute of The Arts Padangpanjang puisi dilakukan oleh Kris Budiman Budiman, 1994. Berbagai penelitian lain juga meneruskan dengan menganalisi cerita populer dan cerita rakyat, antara lain menunjukkan bahwa dalam keseluruhan cerita Seribu Satu Malam, terdapat benang-benang ceritheme yang menghubungkan antara satu cerita dengan cerita lain Yanti Kh., 2009. Model analisis Strukturalisme Levi-Strauss juga mempu menunjukkan adanya relasi konteks sejarah, makna, hingga adat dan budaya, sebagaimana tampak dalam analisis atas cerita rakyat Jawa berjudul Tundung Mediyun Afiyanto & Nurullita, 2018. Analisis model yang sama juga mampu mengungkapkan nilai-nilai pelestarian yang dianut suatu kelompok etnik dari suatu novel sebagaimana nasehat pelestarian masyarakat, lingkungan alam, hewan, dan manusia melalui budaya dari masyarakat Tionghoa-Jambi dalam Novel Mempelai Naga karya Meiliana K. Tansri Putro & Widowati, 2014. Pandangan Strukturalisme Levi-Strauss, penting dalam pembangunan ilmu pengetahuan kontemporer. Sebab, perspektif ini memberi pemahaman tentang kesetaraan antar bangsa, dimana posisi subjek-objek yang selama ini berarti Barat-Timur, kini diletakkan dalam humanisme yang setara, melalui perbandingan-perbandingan antar struktur budaya, yang memperlihatkan kesejajaran dan bahkan kemiripan Levi-Strauss, 2021. Tulisan ini ditujukan untuk menunjukkan seperlunya kemungkinan pemanfaatan model analisis struktural Levi-Strauss tersebut bagi analisis lakon khususnya, dan pengembangan ilmu Teater di Indonesia pada umumnya. Mengetengahkan secara kritis model analisis lakon berdasarkan analisis struktural Levi-strauss itu, tulisan ini akan diawali dengan premis-pemis dasar, yang dilanjutkan dengan prosedur analisis, yang terurai dalam tiga tahapan, yakni 1 uraian mitos dan miteme; 2 uraian struktur mitos; dan 3 uraian ideologi di balik mitos. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Pendekatan kualitatif, berorientasi pada pencarian makna dan pemahaman mendalam atas suatu objek kebudayaan, yang dengan meminjam istilah Max Weber dikatakan sebagai verstehen memahami Endraswara, 2003. Model penelitian strukturalisme Levi-Strauss memiliki beberapa ciri, yakni pertama, ia adalah gabungan antara ilmu pengetahuan murni science dan ilmu pengetahuan tentang manusia humaniora. Kedua, pendekatan ini mengadopsi model analisis linguistik struktural dari Ferdinand de Saussure Endraswara, 2003. Pandangan yang kedua inilah yang sangat mencirikan analisis strukturalisme Levi-Strauss, dimana ia memandang mitos sebagaimana layaknya bahasa. Maka, sebagaimana adanya la langue dan la parole dalam Bahasa, Levistrauss memandang di dalam mitos terdapat aspek sinkronik dan diakronik. Aspek sinkronik dari mitos adalah unsur dalam mitos yang berasal dari masa lalu namun masih relevan di masa kini, sedangkan aspek diakronik mitos adalah unsur dari Vol. 4, No. 2, Oktober, 2021 Postgraduate Program Institute of The Arts Padangpanjang masa lalu yang masih bertahan hingga di masakini. Berdasarkan pemahaman itu, penelitian dilakukan dengan teknik pengumpulan data berupa studi pustaka, yakni dengan mempelajari sebuah tesis yang ditulis Tatang Abdullah. Metode studi pustaka, berorientasi pada pencarian pemahaman berdasarkan pada data sumber kedua atau sekunder. Artinya, peneliti tidak berhadapan langsung dengan objek penelitian Zed, 2004. Dalam Hal ini, objek penelitian yang dihadapi adalah sebuah tesis yang ditulis oleh Tatang Abdullah berjudul “Analisis struktural Levi-Strauss terhadap tiga lakon karya Arthur S Nalan Kajian transformasi tokoh dalam lakon Rajah Air, Kawin Bedil, dan Sobrat.” Abdullah, 2005 Metode analisis yang diterapkan adalah analisis deskriptif, dengan cara menemukan pemahaman melalui uraian data. Dari pembacaan terhadap tesis tersebut didapatkan uraian tentang cara atau prosedur analisis suatu teks lakon berdasarkan strukturalisme Levi-Strauss. Tahapan analisis tersebut terdiri atas tida langkah, yakni 1 deskripsi mitos dan miteme mytheme, yang pada dasarnya serupa deskripsi atas alur drama dan perjalanan karakter; 2 kodifikasi struktur mitos, yang mirip dengan analisis irama dramatik; dan 3 identifikasi ideologi dalan mitos, yang mirip dengan pencarian tema drama. Secara teoretik, analisis berangkat dari pemahaman bahwa bagi Levi-Strauss, mitos atau mitologi adalah pantulan dari struktur sosial dan hubungan-hubungan dalam sistem sosial Levi-Strauss, 2009 277. Cara analisis atas suatu mitos, menggaris bawahi tiga hal. Pertama, jika mitos memiliki makna, maka makna tersebut tidak dapat ditemukan dengan berpegang pada elemen-elemen yang terpisah, melainkan pada cara elemen-elemen tersebut saling berhubungan. Kedua, mitos muncul dari tatanan langage yang merupakan suatu keutuhan integral meskipun langage yang terdapat dalam suatu mitos dapat memiliki artinya tersendiri, yakni manifestasi dari sifat khasnya masing-masing. Ketiga, karenanya pencarian atas makna suatu mitos hanya dapat dilakukan di atas’ atau melampaui tingkat ekspresi kebahasaannya, yakni makna yang lebih kompleks dibandingkan apa yang diekspresikan oleh bahasa Levi-Strauss, 2009 281-282. HASIL DAN PEMBAHASAN Premis-Premis Dasar Mengawali uraian dalam tesisnya, Tatang Abdullah mengetengahkan bahwa teks drama atau naskah lakon, pada dasarnya merupakan fenomena budaya. Berlandaskan pada alasan itulah, ia kemudian memilih tiga lakon yang ditulis oleh Arthur S. Nalan, untuk dianalisis dengan menggunakan metode analisis struktural, sebagaimana yang dilakukan Levi-Strauss terhadap mitos Oedipus, serta yang diterapkan Heddy Shri Ahimsa-Putra terhadap tiga novel karya Umar Kayam. Sebagai empasis penelitiannya, Tatang Abdullah mencoba membuktikan terjadinya transformasi atas tiga karakter tokoh penokohan yang terdapat pada ketiga lakon itu, sebagai bukti bahwa terdapat suatu pola umum Vol. 4, No. 2, Oktober, 2021 Postgraduate Program Institute of The Arts Padangpanjang atau struktur yang identik di balik penulisan lakon-lakon tersebut. Tiga naskah drama atau teks lakon karya Arthur S. Nalan yang dianalisis adalah naskah lakon Kawin Bedil 1998, naskah lakon Rajah Air 1999, naskah lakon Sobrat 2003. Naskah lakon Kawin Bedil dan Sobrat adalah naskah pemenang dalam Sayembara Penulisan Naskah Dewan Kesenian Jakarta, masing-masing pada Sayembara Penulis Roman, Drama Umum dan Drama Anak-Anak Tahun 1998, di mana naskah lakon Kawin Bedil menjadi Pemenang Harapan, dan pada Sayembara serupa tahun 2003 di mana naskah lakon Sobrat menjadi Pemenang Pertama. Tesis ini pada dasarnya mencoba membuktikan dua hal. Pertama, membuktikan adanya kemiripan antara tokoh Siti Larom SL dari lakon Rajah Air RA, tokoh Dayu Dedes DD dari lakon Kawin Bedil KB, dan tokoh Sobrat ST dari lakon Sobrat ST, yang ketiga lakonnya ditulis oleh Arthur S. Nalan ASN. Dan kedua, membuktikan terjadinya transformasi antar ketiga tokoh yang terdapat dalam tiga lakon berbeda, yang sama-sama ditulis oleh ASN tersebut. Untuk tujuan itu, Tatang Abdullah kemudian menggunakan teori Strukturalisme yang dikembangkan oleh Claude Levi-Strauss, yang meyakini bahwa terdapat keteraturan yang hakiki di balik setiap fenomena budaya, sesuatu yang dinamakan sebagai struktur, suatu hubungan atas unsur-unsur, di mana perubahan pada salah satu di antaranya menghasilkan perubahan bagi semua unsur tersebut. Keteraturan atau struktur tersebut, dapat pula dilihat pada beberapa fenomena yang kelihatannya berbeda-beda, namun sebenarnya menyimpan pola yang sama, yang dapat dibuktikan melalui konsep transformasi. Transformasi dalam strukturalisme Levi-Strauss, diartikan sebagai alih rupa’ pada tataran permukaan, yang menegaskan bahwa pada tataran yang lebih dalam, yang terjadi sesungguhnya adalah keterulangan’ pola atau struktur. Atau dengan kata lain, konsep transformasi dalam strukturalisme Levi-Strauss menyatakan bahwa perubahan pada suatu mitos, seringkali masih membawa beberapa unsur dari mitos lama, baik secara diakronik maupun sinkronik. Berpijak pada konsep transformasi dalam pengertian Strukturalisme Levi-Strauss tersebutlah, Tatang Abdullah kemudian mencoba melihat adanya keterulangan’ pola pada tiga fenomena budaya, yang dalam hal ini adalah teks drama, atau naskah lakon yang ditulis oleh ASN, seorang pengarang asal kota Bandung. Tiga naskah lakon yang dianalisis, masing-masing RA, KB, ST dipilih dengan beberapa pertimbangan. Pertama, karena ketiganya adalah naskah pemenang Sayembara Penulisan Naskah Drama Dewan Kesenian Jakarta, yang dipandang Tatang Abdullah sebagai indikator kualitas naskah-naskah bersangkutan. Kedua, karena memiliki atau memperlihatkan adanya kemiripan satu sama lain, yang dipandang Tatang Abdullah dapat membuktikan terdapatnya suatu pola umum atau struktur, dan karenanya relevan untuk dianalisis dengan menerapkan pendekatan yang dipilih, yaitu Strukturalisme Levi-Strauss. Vol. 4, No. 2, Oktober, 2021 Postgraduate Program Institute of The Arts Padangpanjang Untuk keperluan itu, Tatang Abdullah membatasi amatannya pada penokohan karakter tokoh. Ia memilih masing-masing satu tokoh dari setiap lakon, yang dipandang dapat dijadikan indikator untuk memahami keseluruhan lakon, dan pada akhirnya memahami pikiran ASN, sang pengarang. Hal ini dilandaskan pada teori yang menyatakan bahwa penokohan karakter tokoh merupakan unsur terpenting dari setiap naskah lakon, dan analisis terhadapnya adalah hal terpenting yang harus dilakukan dalam rangka memahami pikiran pengarang. Mengutip pendapat Soediro Satoto 1998, Tatang Abdullah melakukan analisis terhadap penokohan, berdasarkan pada tiga dimensi karakteristik tokoh, yaitu 1 dimensi fisik ciri-ciri badani; 2 dimensi sosiologis ciri-ciri kehidupan dalam masyarakat; dan 3 dimensi psikologis ciri-ciri kejiwaan. Tokoh-tokoh yang dipilih untuk dianalisis tersebut adalah SL dari lakon RA, tokoh DD dari lakon KB, dan tokoh ST dari lakon ST. Tahapan-Tahapan Analisis 1. Deskripsi Mitos dan Miteme Tatang Abdullah memulai analisisnya dengan cara menguraikan setiap lakon sebagai sebuah narasi. Lakon RA, bercerita tentang seorang tokoh bernama Mbok Rikip MR yang pada suatu malam didatangi Gusti Semar GS, yang memberitahukan bahwa bendungan Bumitirto akan jebol. Semua itu akibat dari ulah carik Suro Abro SA, yang menjadikan bendungan itu sebagai tempat maksiat. MR kemudian berusaha memperingatkan SA, namun SA tidak percaya. SA malah kemudian menculik Siti Larom SL untuk mengorek keterangan tentang mimpi MR. SL tokoh yang selanjutnya akan dianalisis, yang merupakan anak hasil hubungan di luar nikah antara MR dengan SA di masa lalu, berusaha menyadarkan SA. Karena tidak mengetahui bahwa SL adalah anaknya sendiri, SA kemudian malah melampiaskan nafsunya kepada SL, dan kemudian membunuhnya. MR lalu datang bersama GS, dan SL hidup kembali. SA yang menyadari bahwa mimpi MR mulai menjelma menjadi kenyataan, kemudian menjadi gila dan membuang dirinya sendiri. Sementara lakon KB, menceritakan tentang seorang tokoh bernama Dayu Remes DR, yang memiliki cucu bernama Dayu Dedes DD. DD tokoh yang selanjutnya akan dianalisis adalah seorang perempuan cantik yang menjadi juara samseng. DR kemudian mewariskan ilmunya kepada DD dengan bantuan Durga Umayi DU. Seorang raja bernama Rajagung Malak RM, ingin menggenapkan selirnya menjadi 100 orang dengan mempersunting DD. Meski ditentang oleh ratunya, Ratugung Malak UM, namun RM tetap bersikeras. UM kemudian meracuni RM dan mengambil alih kekuasaan. Pemerintahan UM menimbulkan pemberontakan di mana-mana. UM lalu menangkap para pemberontak, dan di antara mereka terdapat DD, dan Gusti Angrok GA, yang merupakan titisan Dewa Siwa. DD yang merupakan titisan DU, dengan bantuan GA, kemudian meruwat UM yang merupakan titisan Durga Mahisasuramardini DM, saudara kembar DU yang jahat. UM lalu menjadi Vol. 4, No. 2, Oktober, 2021 Postgraduate Program Institute of The Arts Padangpanjang gila, sedang DD dan GA lalu dikukuhkan sebagai pasangan. Sedang lakon ST, bercerita tentang seorang tokoh bernama Sobrat ST, lelaki yang meninggalkan kampung halamannya untuk mengadu nasib di negeri orang. Ia pergi tanpa pamit pada Mimi MI, ibunya. ST tokoh yang selanjutnya akan dianalisis pergi ke sebuah negeri bernama Bukit Kemilau, sebuah penambangan emas milik tuan Tuan Balar TB. Di atas kapal menuju tempat itu, ST berjumpa dengan Rasminah RH. Di bukit kemilau ST menjadi kuli, namun harapannya untuk menjadi kaya tidak kunjung terwujud, malah terlibat hutang banyak kepada TB, karena judi dan main perempuan. ST lalu terjatuh ke dalam sebuah sumur, yang mengantarnya ke Negeri Siluman. Di Negeri Siluman, ia bertemu dengan Silbi Genderuwi SG. ST dan SG lalu kawin, dengan sebuah perjanjian. ST lalu kembali ke pertambangan, dengan modal emas pemberian SG, ia membebaskan dirinya dari TB. ST lalu mencari RH, yang kini menjadi seorang nyai. ST mengajak RH pergi, mereka pulang ke kampung halaman. Betapa kecewanya ST mendapati MI ibunya sudah tiada. ST lalu menikahi RH, dan menjadi bisu tuli karena telah melanggar perjanjiannya dengan SG. 2. Kodifikasi Struktur Mitos Melalui cerita masing-masing lakon, yang diuraikan berdasarkan babak dan adegan seperti di atas, Tatang Abdullah kemudian mengetengahkan analisis struktur. Analisis dilakukannya dengan membagi masing-masing lakon menjadi lima episode, yaitu 1 episode latar belakang tokoh; 2 episode pertentangan; 3 episode puncak pertentangan; 4 episode penyelesaian masalah; dan 5 episode kesimpulan atau akhir cerita. Lima episode ini, diketengahkan dengan merujuk pada pembagian tangga dramatik Gustav Freytag, sebagaimana yang dikutip RMA. Harymawan dalam bukunya Dramaturgi, yaitu eksposisi; rising action; konflikasi; klimaks; resolusi; dan konklusi Dewojati, 2010; Harymawan, 1993. Sebagai piranti analisis, Tatang Abdullah menggunakan konsep miteme mytheme, yang dipakai untuk melihat persamaan dan perbedaan dari penokohan-penokohan yang telah dipilih, yaitu SL, DD, dan ST. Masing-masing penokohan, kemudian dilihat posisinya dalam rantai episode, seperti yang telah dijelaskan pada alinea di atas. Kedudukan dan fungsi tokoh di dalam cerita, kemudian dilihat seperti hubungan sintagmatis dan paradigmatis dalam bahasa, dengan rantai episode sebagai kalimatnya. Dengan cara tersebut, Tatang Abdullah bermaksud melihat penokohan sebagai miteme, yang memperlihatkan gambaran perkembangan karakter tokoh, berdasarkan tiga dimensi karakter tokoh, seperti yang telah dijelaskan pada alinea terdahulu. Pada episode latar belakang tokoh, ditemukan paling tidak lima miteme, yaitu 1 jenis kelamin’; 2 keluarga’; 3 ekonomi’; 4 kehendak’ dan; 5 posisi dalam keluarga’. Tokoh SL dan DD, yang sama-sama perempuan beroposisi dengan tokoh ST yang laki-laki. Oposisi juga terlihat pada miteme ekonomi’, di Vol. 4, No. 2, Oktober, 2021 Postgraduate Program Institute of The Arts Padangpanjang mana SL dan ST miskin, sedang DD keluarga sederhana. Sementara pada miteme kehendak, SL dan DD sama-sama menjalani hidup berdasarkan kemauannya sendiri, yang beroposisi dengan ST yang menjalani hidup atas kemauan orang lain. Namun ketiga tokoh tersebut, memiliki kesamaan pada miteme keluarga’ dan posisi dalam keluarga’, yaitu sama-sama anak tunggal dan memiliki posisi khusus, baik sebagai anak, maupun cucu. Pada episode pertentangan, terdapat tiga miteme, yaitu 1 miteme ciri-ciri muka atau wajah’, di mana baik SL, DD, maupun ST memiliki penampilan yang baik, yaitu cantik dan ganteng; 2 miteme pekerjaan atau peranan dalam masyarakat’ di mana SL dan DD yang bekerja tampa pamrih, beroposisi dengan ST yang bekerja dengan pamrih; dan 3 miteme mentalitas, moral atau norma’, yang mempersamakan ketiga tokoh ini sebagai karakter yang menghormati orang tuanya masing-masing. Miteme-miteme yang mirip ditemukan pada episode puncak pertentangan, dengan oposisi yang berbeda, yaitu 1 miteme keadaan tubuh’, di mana baik SL, DD, maupun ST memiliki tubuh yang ideal; 2 miteme pandangan masyarakat’ di mana ketiganya sama-sama dikagumi orang; dan 3 miteme norma agama’, di mana DD dan ST yang pendendam beroposisi dengan SL yang pemaaf. Miteme-miteme yang berbeda, kemudian ditemukan pada episode penyelesaian masalah, yaitu 1 miteme orientasi hidup’, di mana SL yang menerima hidup apa adanya, beroposisi terhadap DD dan ST, yang menolak; dan 2 miteme sikap dan prilaku’, di mana SL dan DD yang persoalannya diselesaikan oleh orang lain, yaitu MR dan DR, beroposisi dengan ST yang menyelesaikan masalahnya sendiri. Demikian pula pada episode kesimpulan atau akhir cerita, yang menghadirkan empat miteme miteme berbeda, yaitu 1 miteme status sosial’, di mana SL, DD, dan ST, akhirnya sama-sama kawin; 2 miteme pikiran dan perasaan’ di mana SL dan DD bahagia, sedang ST menyesal; 3 miteme kekerabatan’, di mana SL, DD dan ST, dipersatukan oleh kehilangan orang tuanya masing-masing; dan 4 miteme akhir kisah’, di mana SL dan ST yang identitasnya terbuka di akhir kisah, beroposisi dengan DD yang identitasnya terbongkar lebih dulu. Berdasarkan semua miteme yang berhasil ditemukannya pada alur dramatik tersebut, dapat dilihat bahwa masing-masing tokoh, dihubungkan satu sama lain oleh logika homologi kesamaan, oposisi keberlawanan, inversi keterbalikan, dan akhirnya transformasi alih rupa. Semua itu dipandang sebagai bentuk variasi terhadap tema yang sebenarnya sama. Namun demikian, masing-masingnya terlihat berbeda karena disusun dalam rantai sintagmatis dan paradigmatis yang seolah-olah’ berbeda. Tatang Abdullah kemudian mencoba membuktikan bahwa perbedaan tersebut hanya terjadi pada tataran luar’, sedangkan pada tataran dalam’, tema, maupun nilai dan makna yang disampaikan oleh ketiga lakon tersebut, melalui karakter SL, DD, dan ST, pada dasarnya adalah sama. Dengan kata lain, yang terjadi adalah transformasi alih rupa dari tokoh yang satu, ke tokoh yang lain, demikian pula dari lakon yang Vol. 4, No. 2, Oktober, 2021 Postgraduate Program Institute of The Arts Padangpanjang satu ke lakon yang lain. 3. Identifikasi Ideologi di balik Mitos Setelah menguraikan struktur masing-masing lakon, Tatang Abdullah berkesimpulan bahwa melalui ketiga lakon ini, ASN sang pengarang ingin menyampaikan pesan bahwa sistem kepercayaan pada dasarnya merupakan persoalan yang universal. Hal tersebut coba diungkapkan oleh ASN dengan memilih latar belakang budaya yang berbeda bagi ketiga lakon ini, yaitu budaya Jawa untuk lakon RA, budaya Bali untuk lakon KB, dan budaya Cirebon untuk lakon ST. Kesimpulan latar belakang budaya itu, diambil Tatang Abdullah dengan memperhatikan penanda budaya yang lebih dominan berdasarkan nama tokoh, nama tempat, maupun keterangan langsung dari pengarang. Kehidupan spiritual atau sistem kepercayaan, yang dipengaruhi oleh budaya yang berbeda-beda itu, kemudian mengarah kepada etika kehidupan, yang terlihat jelas dengan memperhatikan pandangan hidup masing-masing tokoh yang telah dipilih. Mengutip pendapat Niels Mulder dalam bukunya Mistisme Jawa Ideologi di Indonesia 2001, Tatang Abdullah menyimpulkan bahwa SL, yang berlatar budaya Jawa, hidup dengan etika “sepi ing pamrih, rame ing gawe, mamayu hayuning buwono”, yang kira kira bermakna “tanpa pamrih, rajin berkerja, memperindah dunia”. Tujuan dari etika tersebut, tidak lain daripada tercapainya “manunggaling kawula gusti”, yaitu menyatunya antara makhluk dan penciptanya, serta keselarasan hidup antara manusia dengan alam. Dengan kata lain, tercapainya harmoni kehidupan. Sementara DD, yang berlatar budaya Bali, hidup dalam kepercayaan kepada niskala ghaib, yaitu penghormatan kepada dewa-dewa dan ajaran untuk selalu berbuat kebajikan. Dengan mengutip Jansen, dalam buku berjudul Orang Bali 1996, Tatang Abdullah mengatakan bahwa untuk itu, seseorang harus selalu menjaga keseimbangan antara tiga komponen, yaitu 1 buwana alit mikrokosmos, yaitu si manusia itu sendiri; 2 buwana agung makrokosmos, yaitu alam semesta; dan 3 Sang Hyang Widi Wasa, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Adapun ST, yang berlatar budaya Cirebon, hidup dalam budaya yang berbaur melting pot, antara budaya Sunda dan Jawa, demikian pula antara konsep keimanan Islam dan pandangan mistik. Mengutip pendapat Muhaimin dalam bukunya berjudul Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon 2001, Tatang Abdullah menyatakan bahwa tokoh ST harusnya menghormati tempat-tempat kramat tempat-tempat yang dianggap memiliki kekuatan gaib, menghindari nyupang mencari keuntungan melalui perjanjian dengan setan atau jin jahat, dan tidak terpengaruh pada memedi atau wewedan hantu. Kesalahan ST, dengan tidak mematuhi etika itu, telah mendorongnya untuk melakukan malima lima dosa, yaitu 1 madat menghisap candu; 2 maling mencuri; 3 maen berjudi; madon berganti-ganti wanita; dan 5 mabok minum minuman keras, sesuatu Vol. 4, No. 2, Oktober, 2021 Postgraduate Program Institute of The Arts Padangpanjang yang seharusnya ia jauhi. Padahal, mematuhi lima larangan ini, merupakan cara untuk mencapai kebahagiaan. Memperhatikan pandangan hidup ketiga tokoh tersebut, Tatang Abdullah sampai pada kesimpulan tentang terjadinya transformasi. Pertama, transformasi terlihat pada tataran peristiwa, di mana baik SL, DD, dan ST, mengalami peristiwa-peristiwa yang dapat dilihat sebagai urutan yang sama, yaitu Latar Belakang Tokoh –Pertentangan – Puncak Pertentangan – Penyelesaian Masalah – Kesimpulan atau Akhir Cerita. Kedua, meski latar budaya masing-masing tokoh berbeda, namun persoalan yang mewarnai peristiwa yang mereka alami adalah sama, yaitu sistem kepercayaan. Hal itu semakin dikuatkan dengan hadirnya tokoh-tokoh mitis mythical figure, yaitu Gusti Semar, Durga Umayi, dan Silbi Genderuwi, yang memperlihatkan bahwa untuk menumpas kejahatan, seringkali diperlukan kekuatan-kekuatan adikodrati. Kehadiran tokoh-tokoh mitis dalam ketiga lakon tersebut, dipandang Tatang Abdullah sebagai bentuk hilangnya batas antara mikrokosmos dan makrokosmos. Lebih jauh, hal itu dipandang sebagai gambaran bahwa tokoh SL, DD, dan ST berada dalam ruang liminal ambang, dalam hal sistem kepercayaan. Mengutip Victor Turner 1967 dan Heddy Shri Ahimsa-Putra 2001, Tatang Abdullah berpendapat bahwa SL, DD, dan ST sama-sama berada dalam kondisi betwixt and between tidak di sini dan tidak di sana. SL dan ST berada antara dua sistem kepercayaan yakni Islam dan Non-Islam, sedang DD berada di antara Hindu dan Non-Hindu. Pada akhirnya, Tatang Abdullah sampai pada kesimpulan, bahwa melalui ketiga tokoh dalam tiga lakon tersebut, ASN sebagai pengarang ingin mengungkapkan bahwa satu persoalan penting dalam kehidupan manusia adalah kehadiran kekuatan lain di luar kemampuan manusia. Kepercayaan terhadap kehadiran kekuatan lain ini, pada gilirannya membentuk prilaku adat-istiadat manusia, dalam rangka menjaga keseimbangan seluruh proses kehidupan. Bentuk-bentuk prilaku yang erat kaitannya dengan sistem kepercayaan inilah yang merupakan struktur dalam deep structure dari ketiga lakon yang ditulis ASN ini. Dengan demikian, menurut Tatang Abdullah, keseluruhan lakon pada dasarnya adalah refleksi diri ASN, sang pengarang sendiri. ASN mewujudkan dalam dirinya kepercayaan tentang kekuatan adikodrati Gusti Semar, Durga Umayi, dan Silbi Genderuwi, yang kemudian diproyeksikannya ke dalam lakon, dalam wujud tokoh Siti Larom, Dayu Dedes, dan Sobrat. Sehingga, Arthur S. Nalan, Siti Larom, Dayu Dedes, dan Sobrat, sesungguhnya adalah perwujudan dari nilai-nilai religius yang sama, yang berjuang untuk menjaga keseimbangan hidup. Beberapa Catatan Kritis Tesis Tatang Abdullah, tentunya memperlihatkan bagaimana strukturalisme Levi-Strauss diterapkan dalam analisis teks drama atau naskah lakon. Lebih khusus, kajian ini memberikan tawaran tentang analisis karakter tokoh penokohan, melalui Vol. 4, No. 2, Oktober, 2021 Postgraduate Program Institute of The Arts Padangpanjang pembacaan terhadap perkembangan karakter tokoh, yang diletakkan sebagai miteme dalam rantai episode cerita atau alur dramatik. Sebagaimana disinggung Tatang Abdullah, penokohan merupakan unsur terpenting dalam naskah lakon, tidak saja karena penokohan merupakan instrumen penyampai dialog, yang kemudian menggulirkan wujud dramatik, tetapi juga karena penokohan dapat membantu dalam memahami pikiran pengarang. Kajian semacam ini, dapat memberikan alternatif yang bermanfaat bagi khasanah pengkajian drama dan teater secara umum, khususnya analisis teks lakon/ teks dramatik. Dengan model kajiannya ini, Tatang Abdullah menawarkan suatu metode dalam memahami struktur, dan makna, bahkan ideologi yang terdapat dalam sebuah naskah lakon. Namun demikian, kiranya terdapat beberapa hal yang masih perlu disempurnakan dari model analisis yang dilakukan Tatang Abdullah ini, terutama bagi peneliti seni teater lain yang bermaksud menggunakan model analisis yang sama, terhadap objek penelitian yang berbeda. Pertama, adalah hal-hal yang berkaitan dengan kerangka konseptual. Misalnya, tentang rasionalisasi objek penelitian, yaitu teks drama atau naskah lakon yang dipilih, dalam kaitannya dengan relevansi teori yang digunakan, yaitu strukturalisme Levi-Strauss. Sebagaimana diketahui, semula Levi-Strauss mengembangkan model analisis struktural ini untuk memahami sejumlah mitos, yaitu mitos Oedipus di Eropah, dan mitos masyarakat suku Indian di Amerika. Hal itu dilakukan dengan asumsi bahwa setiap mitos merupakan perwujudan dari struktur penalaran atau logika tertentu. Sehingga, analisis terhadap suatu mitos yang dipercaya oleh suatu masyarakat, dapat membantu untuk memahami struktur penalaran yang digunakan oleh masyarakat bersangkutan. Untuk itu, sebelum masuk ke dalam analisisnya, peneliti yang akan menggunakan model analisis struktural Levi-Straus perlu membuktikan terlebih dahulu, bahwa teks drama, atau naskah lakon yang ditelitinya dapat diperlakukan layaknya sebuah mitos, sehingga metode analisis Strukturalisme Levi-Straus yang dipilihnya menjadi relevan. Sayangnya, pada konteks tesis Tatang Abdullah, hal ini belum terjadi. Tatang Abdullah hanya membuat pernyataan bahwa teks drama, dalam hal ini naskah lakon, pada dasarnya merupakan fenomena budaya yang merupakan sarana atau bentuk ungkapan pengarang dalam menyampaikan perasaan, pikiran dan pengalaman hidup. Namun ia tidak melanjutkannya dengan eksplanasi yang meyakinkan bahwa analisis terhadap naskah lakon dapat membantu untuk melihat struktur penalaran yang digunakan oleh sang pengarang, atau bahkan oleh sebuah masyarakat. Demikian pula, dalam tujuan penelitiannya, Tatang Abdullah, tidak menyinggung-nyinggung tentang penalaran atau logika di balik penulisan naskah lakon. Padahal, tesis ini sebenarnya cukup berhasil membuktikan, bahwa struktur penalaran luar surface structure yang digunakan dalam penulisan ketiga lakon ini, adalah struktur dramatik Aristotelean, yang kemudian Vol. 4, No. 2, Oktober, 2021 Postgraduate Program Institute of The Arts Padangpanjang dikembangkan oleh Gustav Freitag. Bahkan, Tatang Abdullah sebenarnya cukup berhasil membuktikan bahwa ketiga lakon yang ditulis dengan memanfaatkan latar belakang budaya berbeda ini, pada dasarnya ditulis dengan struktur logika atau penalaran dalam deep structure yang sama, yaitu bahwa manusia hanya dapat hidup bahagia, jika ia berhasil membangun keselarasan antara dirinya sendiri, dengan alam, dan kekuatan adikodrati. Demikian pula dengan ketepatan pilihannya untuk memilih penokohan sebagai pintu-masuk menuju telaah keseluruhan. Levi-Strauss sendiri meyakini, bahwa setiap mitos memberi tempat khusus pada penokohan tertentu, untuk menginformasikan secara ekplisit suatu kondisi sosial. Sebagai perbandingan, dapat diperhatikan analisis yang dilakukan Heddy Shri Ahimsa-Putra terhadap novel Umar Kayam, dan analisis Kris Budiman terhadap puisi Nyanyian Angsa karya Rendra Budiman, 1994. Dalam uraiannya, Heddy Shri Ahimsa-Putra merasa perlu untuk meyakinkan pembaca bahwa cerita-cerita yang ditulis Umar Kayam adalah objek yang tepat untuk dianalisis dengan Strukturalisme Levi-Straus, yaitu karena 1 cerita-cerita itu, seperti halnya mitos, ditulis dalam rangka mengatasi sebuah kontradiksi empiris; dan 2 karena si penulis memposisikan dirinya sebagai bagian, atau yang ikut mengalami cerita, seperti halnya individu-individu dalam masyarakat dalam melahirkan mitos Ahimsa-Putra, 2006. Demikian pula dengan Kris Budiman, yang sampai pada kesimpulan bahwa “substansi mitos adalah cerita”, sehingga puisi naratif bercerita seperti Nyanyian Angsa dapat dianalisis dengan metode analisis struktural Budiman, 1994. Selanjutnya, para peneliti yang akan menggunakan model analisis ini kiranya harus memberikan penjelasan yang memadai tentang beberapa istilah terminologi dan konsep khas Levi-Strauss. Misalnya tentang miteme, yang oleh Tatang Abdullah hanya dijelaskannya dalam glosarium’ di akhir tulisan. Sejak semula, ketika istilah miteme ditulis pertamakali dalam uraian, Tatang Abdullah tidak memberikan penjelasan defenitif tentang pengertian istilah ini, kecuali hanya dengan mengutip pendapat Heddy Shri Ahimsa-Putra. Padahal, istilah ini digunakan berulang-ulang dalam uraiannya. Apalagi, tiba-tiba Tatang Abdullah juga menggunakan istilah ceritheme tanpa alasan yang jelas, padahal sebelumnya ia hanya menggunakan istilah miteme secara terus-menerus. Demikian pula dengan penggunaan istilah sintagmatis dan paradigmatis. Dua istilah yang diambil dari istilah Linguistik ini, tidak mendapatkan penjelasan yang cukup memadai dalam kaitannya dengan penggunaannya dalam analisis lakon. Tatang Abdullah tidak memberikan penjelasan, pada tataran bagaimana relasi-relasi dalam lakon bisa dipahami sebagai hubungan sintagmatis, dan dalam pengertian yang seperti apa pula hubungan paradigmatis terjadi. Padahal, bisa dinyatakan secara eksplisit bahwa hubungan Latar Belakang Tokoh – Pertentangan – Puncak Pertentangan – Penyelesaian Masalah – Kesimpulan atau Akhir Cerita pada Vol. 4, No. 2, Oktober, 2021 Postgraduate Program Institute of The Arts Padangpanjang sebuah struktur dramatik dapat dipahami sebagaimana layaknya hubungan S – P – O – K dalam kalimat, sementara flash back kilas balik dan foreshadow bayangan awal dalam penceritaan dapat berfungsi seperti halnya perubahan struktur kalimat dalam aturan kebahasaan. Dengan cara itu, kiranya pemahaman tentang istilah sintagmatik dalam model analisis sudah terjelaskan. Selanjutnya, dengan menunjukkan bahwa variasi miteme mytheme, cerita, tokoh, nama tempat, dan sebagainya antara lakon yang satu dengan yang lain, dapat dipahami sebagaimana sebuah kata disubstitusi dalam kalimat, yang sebenarnya tetap memiliki tujuan yang sama, maka istilah paradigmatik pun bisa terjelaskan. Selain defenisi terhadap terminologi khusus, hal yang patut diperhatikan adalah penggunaan referensi primer, yaitu tulisan Levi-Strauss sendiri. Pada konteks tulisan Tatang Abdullah, hampir semua pendapat atau konsep strukturalisme yang dinyatakan sebagai teori Levi-Strauss, dikutip dari sumber kedua, terutama dari tulisan Heddy Shri Ahimsa-Putra. Barangkali itulah pula sebabnya, Tatang Abdullah juga tidak menggunakan model analisis berkolom seperti yang digunakan oleh Levi-Strauss dalam menganalisis Oedipus, yang kemudian diterapkan pula oleh Kris Budiman dalam menganalisis Nyanyian Angsa. Model yang diterapkannya, rupanya merujuk banyak pada model analisis yang dikembangkan Shri Ahimsa-Putra dalam menganalisis tiga novel Umar Kayam, yaitu dengan membagi cerita menjadi episode-episode, dan langsung menguraikan miteme/ceritheme-nya. Terakhir, mengingat kemungkinan timbulnya beberapa kesamaan, yaitu 1 model analisis, seperti dengan yang dilakukan Ahimsa-Putra; dan 2 pilihan objek, sebab kisah Oedipus yang dianalisis oleh Levi-Strauss, yang sebenarnya juga tertulis dalam bentuk teks drama, maka kiranya seorang peneliti teater perlu secara eksplisit mengungkapkan sisi yang khas dalam penelitiannya. Sebagaimana yang diingatkan oleh RM. Soedarsono, aspek orisinalitas dan kekhasan penelitian, merupakan hal yang penting untuk diperhatikan, terutama ketika memilih topik penelitian Soedarsono, 1999. Misalnya, pada konteks tulisan Tatang Abdullah, menilik pada empasis kajiannya, kita bisa menyimpulkan bahwa konsep transformasi lebih menjadi fokus, dibandingkan analisis Struktural Levi-Strauss-nya secara umum. Cukup disayangkan, hal tersebut tidak tergambarkan dalam judul tulisannya. KESIMPULAN Berdasarkan semua uraian tersebut di atas, kiranya telah dapat disimpulkan pendekatan Strukturalisme Levi-Strauss dapat menjadi alternatif bagi kajian-kajian drama dan lakon. Tentu saja, kajian semacam ini juga bukanlah sesuatu yang sama sekali baru. Sebagaimana dinyatakan oleh Tatang Abdullah, kajian ini mengambil inspirasi dari penelitian Levi-Strauss sendiri, terhadap mitos Oedipus, dan penelitian Heddy Shri Ahimsa-Putra terhadap tiga novel Umar Kayam. Vol. 4, No. 2, Oktober, 2021 Postgraduate Program Institute of The Arts Padangpanjang Pendekatan analisis strukturalisme Levi-Strauss mungkin pula untuk diterapkan terhadap pertunjukan teater itu sendiri. Hal itu bisa dilakukan berdasarkan beberapa pikiran. Pertama, pandangan strukturalisme Levi-Strauss itu sendiri, yang meyakini bahwa bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan, sebab materi yang digunakan untuk membangun bahasa pada dasarnya adalah material yang sama jenisnya dengan material yang membentuk kebudayaan. Kedua, pertunjukan teater pada dasarnya adalah kompleks bahasa, yang tersusun atas berbagai bahasa, antara lain bahasa verbal, bahasa visual, dan bahasa auditif, sehingga bisa didekati sebagaimana mitos dan bahasa yang lain. Dan ketiga, hubungan pementasan teater dengan lakon yang inheren di dalamnya, tak ubahnya seperti hubungan antara ritus dengan mitos yang menggerakkannya, sehingga pertunjukan teater dapat dibaca sebagaimana sebuah ritus dibaca. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, T. 2005. Analisis Struktural Levi-Strauss terhadap Tiga Lakon Karya Arthur S. Nalan Kajian Transformasi Tokoh dalam Lakon Rajah Air, Kawin Bedil, dan Sobrat. Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Afiyanto, H., & Nurullita, H. 2018. Analisis Strukturalisme Lévi-Strauss dalam Cerita Rakyat Tundung Mediyun Sebagai Alternatif Baru Sumber Sejarah. Jurnal Candrasangkala Pendidikan Sejarah, 42, 81. Ahimsa-Putra, H. S. 2006. Strukturalisme Levi-Strauss, Mitos dan Karya Sastra. Kepel Press, 2006. Budiman, K. 1994. Wacana Sastra dan Ideologi. Pustaka Pelajar. Darmadi, D., Yuliadi, K., & Sahrul, S. 2016. Kaba Sabai Dalam Pertunjukan Teater “Pray for Sabai.” Bercadik Jurnal Pengkajian Dan Penciptaan Seni, 31, 57–65. Dewojati, C. 2010. Drama Sejarah, Teori, dan Penerapannya. Gadjah Mada University Press. Elam, K. 1980. The Semiotics of Theatre and Drama. Methuen & Co. Ltd. Endraswara, S. 2003. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Gadjah Mada University Press. Fitria, Sahrul, & Sastra, A. I. 2016. Karakter Putri Kenanga dalam Lakon Keangkuhan Karya Jonhar Saad dalam Pertunjukkan Dulmuluk di Palembang. Bercadik Jurnal Pengkajian Dan Penciptaan Seni, 31, 83–91. Gusrizal, Pramayoza, D., Afrizal, H., Saaduddin, & Suboh, R. 2021. From Poetry To Performance; a Text Analysis of Nostalgia Sebuah Kota By Iswadi Pratama, a Review of Post-Dramatic Dramaturgy Dari Puisi Ke Pementasan; Teks Teater Nostalgia Sebuah Kota Karya Iswadi Pratama Dalam Tinjauan Dramaturgi Postdramatik. Gramatika Jurnal Penelitian Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia, 72, 303–321. Harymawan, R. 1993. Dramaturgi. Remaja Rosdakarya. Kernodle, G. R. 1967. Invitation to The Vol. 4, No. 2, Oktober, 2021 Postgraduate Program Institute of The Arts Padangpanjang Theatre. Harcourt, Brace & World Inc. Levi-Strauss, C. 2009. Antropologi Struktural Terj. Nini. Kreasi Wacana. Levi-Strauss, C. 2021. Ruang Lingkup Antropologi. Penerbit Basabasi. Luckhurst, M. 2005. Dramaturgy A Revolution in Theatre. Cambridge University Press. Pramayoza, D. 2013a. Dramaturgi Sandiwara Potret Teater Populer dalam Masyarakat Poskolonial. Penerbit Ombak. Pramayoza, D. 2013b. Pementasan Teater Sebagai Suatu Sistem Penandaan. Dewa Ruci Jurnal Pengkajian Dan Penciptaan Seni, 82, 230–247. Pramayoza, D., Simatupang, G. R. L. L., & Murgiyanto, S. 2018. Proses Dramaturgi Dari Teks Sastra Syair Lampung Karam Ke Teks Pertunjukan Teater Under the Volcano. Jurnal Kajian Seni, 42, 206–225. Putro, D. B. W., & Widowati. 2014. Pelestarian Warisan Budaya MasyaraKat Tionghoa-Jambi dan KonfliKnya dalam Novel Mempelai Naga Karya Meilina K. Tansri Pendekatan Struktural Levi Strauss. Caraka Jurnal Ilmiah Kebahasaan, Kesastraan Dan Pembelajarannya, 12, 75–82. Romanska, M. 2007. Dramaturgy Student Handbook. Emerson College Department of Performing Arts. Soedarsono, R. M. 1999. Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Yanti Kh., N. 2009. Analisis Strukturalisme Levi-Strauss Terhadap Kisah Pedagang Dan Jin Dalam Dongeng Seribu Satu Malam. Adabiyyāt Jurnal Bahasa Dan Sastra, 82, 305–334. Zed, M. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Yayasan Obor Indonesia. ... Hampir semua analisis atas lakon dilakukan dengan melihatnya berdasarkan plot, karakter, dan tema. Sementara itu tinjauan atas genre lakon, kekhasan, konvensi, dan gaya lakon masih jarang dilakukan Pramayoza, 2021. Dalam tulisan ini penulis akan menganalisis berdasarkan plot, karakter, tema, genre dan gaya lakon. ...Reza JuliantoJaeni JaeniMonita PrecilliaHusin HusinAlienasi adalah usaha untuk menggambarkan sebuah peristiwa ke dalam bentuk baru yang bertujuan untuk mencegah penonton menjadi katarsis. Alienasi merupakan salah satu teknik atau metode dalam mazhab teater yang diusung oleh Bertolt Brecht. Alienasi sendiri merupakan transisi dari menjadi ke tidak menjadi. Hal ini dilakukan oleh aktor-aktor yang memainkan naskah “setan dalam bahaya” dalam pertunjukan Tugas Akhir ISBI Bandung tahun 2022. Alienasi sangat terlihat oleh aktor yang memainkan peran sebagai Setan dan Alienasi sangat terlihat ketika tokoh dalam naskah “Setan Dalam Bahaya” interaksi dengan penonton dan antar tokoh itu berbeda. Efek keterasingan bekerja untuk menciptakan ruang kosong di antara penonton dengan tontonannya. Efek keterasingan tidak hanya ditunjukkan dalam keaktoran saja, tetapi keseluruhan pertunjukan, setting, ruang dan lighting menggambarkan keterasingan. Artikel ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses alienasi antar tokoh dan interaksi antara tokoh dengan penonton itu terjadi. Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan metode observasi dan wawancarara kepada aktor dan sutradara... Dalam seni teater, hal serupa ini sudah kerap terjadi, contohnya pada karya berjudul Under The Volcano karya Yusril Katil Pramayoza et al., 2018. Berbagai fenomena terjadinya transformasi teks bukan musik menjadi teks musik, tentunya membutuhkan peranti analisis tersendiri, sebagaimana dalam seni yang lain, misalnya ketika teks bukan drama beralih menjadi drama, diperlukan pendekatan dramaturgi Pramayoza, 2021b. ...Della Rosa Panggabean Fresti YulizaSherly NovalindaHafif HRThis article discusses the musical concept of an orchestral piece entitled Andung Hu, which in Batak language means my lament. Andung Hu’s work departs from the reinterpretation of the Andung tradition, a lamentation of sorrow in the context of the death committed by the Toba Batak people. Applying the method of transformation, with the concept of transit and transition, this paper is intended as a form of elaboration of the concept of Andung Hu’s work. The data collected from the work process by Della Rosa Pangabean, which was analyzed critically-reflectively, by viewing the work process as a form of artistic research. The results of the analysis show that the transformation process from the Andung tradition in the Toba Batak society to the Andung Hu Orchestra takes three key stages, namely interpretation; orchestration; and improvisation. The materials and tools used in the stages of the creation process are scales; atonal technique; motive; development techniques; and taganing motifs. The result of the work is a composition in the form of a program music entitled Andung lamentation; Toba Batak; musical concept; Andung Hu; orchestraAbstrakTulisan ini membicarakan tentang konsep musikal dari sebuah karya orkestra berjudul Andung Hu, yang dalam Bahasa Batak berarti ratapanku. Karya Andung Hu berangkat dari reinterpretasi atas tradisi Andung, sebuah ratapan kesedihan dalam konteks kematian yang dilakukan oleh masyarakat Batak Toba. Menerapkan metode transformasi atau alih wahana, dengan konsep transit dan transisi, tulisan ini dimaksudkan sebagai bentuk penjabaran konsep garapan dari karya Andung Hu. Data-data dihimpun dari proses berkarya oleh Della Rosa Pangabean, yang dianalisis secara kritis-reflektif, dengan memandang proses berkarya tersebut sebagai suatu bentuk penelitian artitik. Hasil analisis menunjukkan bahwa proses transformasi dari tradisi Andung dalam masyarakat Batak Toba menjadi karya Orkestra Andung Hu, menempuh tiga tahapan kunci, yakni interpretasi; orkestrasi; dan improvisasi. Adapun bahan dan alat yang digunakan dalam tahapan proses penciptaan itu adalah tangga nada; teknik atonal; motif; teknik pengembangan; dan motif taganing. Adapun hasil karya adalah sebuah komposisi dengan bentuk musik programa yang diberi judul Andung Kunci ratapan kematian; Batak Toba; konsep musikal; Andung Hu; orkestrasiDemylia Lady AmaraThe structural approach is an initial approach in a literary research. The purpose of this research is to describe the structural elements and describe the relationship between any elements in the drama script Roh by Wisran Hadi. The source of this research is the drama script Roh by Wisran Hadi written in June 1998 in Pagaruyung, West Sumatra. The script of this play has four acts with 29 pages. The drama script Roh is one of the best scripts by Wisran Hadi and won the 2nd place award in the 2003 DKJ competition. The drama script Roh by Wisran Hadi was published in the Sobrat drama script collection. Published by PT. Grasindo Jakarta 2003. The results of this study are in accordance with the initial objectives, the process of obtaining data is carried out through various stages, starting from the stage of recording data, classifying data and analyzing data. This research was conducted to prove that within the intrinsic elements of Wisran Hadi's dramae Roh, there is a concrete and significant relationship so that a literary work can be enjoyed in every verse of the written wordMary LuckhurstIn the first exhaustive history of the origins of dramaturgs and literary managers-people who act as advisers and play-doctors at today's theatres, Mary Luckhurst examines the major theorists and practitioners, arguing that Brecht, Granville Barker and Tynan have central roles in this history. Contentious figures, often accused of sinister intent, the numbers of dramaturgs have multiplied considerably in the last decades. This study inquires as to the political and cultural agendas behind this revolution, and whether dramaturgs are mentors or Struktural Levi-Strauss terhadap Tiga Lakon Karya Arthur S. Nalan Kajian Transformasi Tokoh dalam Lakon Rajah Air, Kawin BedilT AbdullahAbdullah, T. 2005. Analisis Struktural Levi-Strauss terhadap Tiga Lakon Karya Arthur S. Nalan Kajian Transformasi Tokoh dalam Lakon Rajah Air, Kawin Bedil, dan Sobrat.Wacana Sastra dan IdeologiK BudimanBudiman, K. 1994. Wacana Sastra dan Ideologi. Pustaka Sejarah, Teori, dan PenerapannyaC DewojatiDewojati, C. 2010. Drama Sejarah, Teori, dan Penerapannya. Gadjah Mada University Penelitian KebudayaanS EndraswaraEndraswara, S. 2003. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Gadjah Mada University Poetry To Performance; a Text Analysis of Nostalgia Sebuah Kota By Iswadi Pratama, a Review of Post-Dramatic DramaturgyPramayoza GusrizalD AfrizalH SaaduddinR SubohGusrizal, Pramayoza, D., Afrizal, H., Saaduddin, & Suboh, R. 2021. From Poetry To Performance; a Text Analysis of Nostalgia Sebuah Kota By Iswadi Pratama, a Review of Post-Dramatic Dramaturgy Dari Puisi Ke Pementasan;Invitation to The Postgraduate Program Institute of The Arts Padangpanjang TheatreG R KernodleKernodle, G. R. 1967. Invitation to The Postgraduate Program Institute of The Arts Padangpanjang Theatre. Harcourt, Brace & World Struktural Terj. NiniC Levi-StraussLevi-Strauss, C. 2009. Antropologi Struktural Terj. Nini. Kreasi Lingkup AntropologiC Levi-StraussLevi-Strauss, C. 2021. Ruang Lingkup Antropologi. Penerbit Basabasi.Tetapiyang paling penting esensi cerita dapat sampai satu tidak kepada pembaca dengan melakukan proses editing lakon. Sebaliknya dengan lakon yang pendek dapat berkembang menjadi pementasan yang panjang dan memikat. Bentuk Lakon. Bentuk-bentuk lakon di dalam seni teater dan seni drama pada dasarnya sama, yaitu : 1. Lakon berbentuk tragedi
nineteen Sebagai contoh adalah dialog drama yang dilakukan oleh dua tokoh yang memiliki karakter suara yang berbeda. Posisi pengaturan jarak dan arah sudut bending jika menggunakan satu mikrofon berbeda dengan dua mikrofon. Penata suara harus dapat menghasilkan suara yang berimbang, artinya hasil pengolahan dua sumber suara tersebut tidak mengalami perbedaan yang mencolok baik secara kualitas dan level keluarannya. Santoso, 2008 c TEKNIK MIXING Suatu proses pengolahanpencampuiran berbagai sumber melalui perangkat elektronik audio mixer untuk menghasilkan pengolahan suara yang terbaik sesuai dengan karakter sumber suara, cita rasa, etika, dan estetika tata suara. Berbagai sumber suara dengan masing-masing karakter masuk secara bersamaan ke audio mixer. Peran penata suara sangat dibutuhkan untuk mengolah dan mengontrol melalui fader level lever audio yang diinginkan. Perbandingan level musik ilustrasi ketika dialog berjalan, transisi, soundtrack, sound effect, dan lain sebagainya perlu diperhatikan. Santoso, 2008 d TEKNIK RECORDING Suatu proses untuk mendapatkan informasi atau hasil rekaman suara yang disimpan dalam suatu media rekaman pita magnetic cassette, piringan hitam, CD, hardisk, dan sebagainya, dengan tujuan hasil rekaman dapat diperdengarkan kembali. Teknik rekaman dilakukan apabila hasil olahan suara hendak disimpan ke dalam media rekam. Apabila tidak, hasil olahan dapat diperdengarkan kembali lewat audio speaker. Santoso, 2008 FUNGSI TATA SUARA Dalam pertunjukan teater, suara memiliki peranan yang penting dalam menyampaikan cerita. Karena media dasarnya adalah lakon yang diucapkan, maka meskipun gerak pemain juga penting, tetapi verbalisasi cerita tersampai melalui suara. Tata suara memiliki beberapa fungsi, yaitu Santoso, 2008 a. Menyampaikan pesan tentang keadaan yang sebenarnya kepada pendengar atau penonton. b. Menekankan sebuah adegan atau peristiwa tertentu dalam lakon, baik melalui efek suara atau alunan musik yang di buat untuk menggambarkan suasana atau atmosfir suatu tempat kejadian. c. Menentukan tempat dan suasana terentu, keadaan tenang, tegang, gembira maupun sedih, misalnya seperti suara ombak, camar dan angin memperkuat latar cerita di tepi pantai. d. Menentukan atau memberikan informasi waktu. Bunyi lonceng jam dinding, ayam berkokok, suara burung hantu, dan lain sebagainya. e. Untuk menjelaskan datang dan perginya seorang pemain. Ketukan pintu, suara motor menjauh, dan suara langkah kaki, gebrakan meja, dan lain sebagainya. twenty f. Sebagai tanda pengenal suatu acara atau musik identitas cara soundtrack. Musik yang berirama jenaka bisa memberikan gambaran bahwa pertunjukan yang akan disaksikan m. bernuansa komedi, sementara musik yang berat dan tegang dapat memberikan gambaran pertunjukan dramatik. h. Menciptakan efek khayalan atau imajinasi dengan menghadirkan suara-suara aneh di luar kelaziman. i. Sebagai peralihan antara dua adegan, sebagai fungsi perangkai atau pemisah adegan, biasanya musik pendek yang dibuat khusus untuk suatu drama atau ceritera. j. Sebagai tanda mulai dan menutup suatu adegan atau pertunjukan. Tone buka dan tone penutup, ada juga yang diambil dari potongan soundtrack. Semua fungsi tata suara berkaitan dengan instrumen yang menghasilkan bunyi. Dalam kasus ilustrasi musik pertunjukan, tata suara menggunakan perlengkapan elektronis. Dengan demikian, penataan suara harus mempertimbangkan keseimbangan antara suara aktor dan suara music ilustrasi. Demikian pula pada saat fungsi suara untuk memulai sebuah adegan. Pengaturan tinggi rendahnya suara harus diperhitungkan sehingga ketika dialog pemain sudah mulai berjalan semuanya akan terdengar dengan jelas Santoso, 2008. JENIS TATA SUARA Dalam unsur-unsur yang terlibat dalam pementasan, tentunya ada tim Artistik yang memiliki beberapa personil yang terbagi menjadi beberapa bagian. Masing-masing bagian memiliki tugas dan tanggung jawab sendiri-sendiri. Tidak tanggung-tanggung, mereka akan total bekerjasama mewujudkan pementasan yang sukses. Dalam seni Teater, Tim ini diantaranya terbagi menjadi beberapa yang tentunya memiliki fungsi masing-masing. Banyak muncul pertanyaan mengapa panggung itu sangat penting? Mengapa Tata rias itu dibutuhkan?, Mengapa Tata lampu harus ada?, mengapa tata suara tidak boleh ketinggalan? jawaban dari semua pertanyaan itu sebagai berikut Fungsi Panggung dan pentas Disini naskah drama dihadirkan. Panggung harus ada karena berfungsi sebagai tempat pentas. Dengan panggung maka fokus pandangan penonton menjadi terpusat pada panggung. Tentunya panggung dibuat lebih tinggi dari tempat duduk penonton, sehingga tidak ada lagi penonton yang terhalang pandangannya terhadap pementasan berlangsung. Fungsi Dekorasi Dekorasi adalah pemandangan latar belakang yang terhias diatas panggung. Fungsi dekorasi ini adalah menguatkan naskah drama. Oleh karena itu panggung harus disesuaikan dengan tema dan naskah drama. Fungsi Tata Lampu Selain untuk menerangi panggung, Tata lampu bisa memberi efek alamiah dari waktu, musim, cuaca dan suasana. Memberi efek pergantian siang dan malam, misalnya malam hari, maka lampu dibuat agak redup, sedangkan siang hari, lampu dibuat terang. Dan sebagainya. Lampu juga dapat membantu permainan dalam melambangkan maksud dengan memperkuat kejiwaan. Lampu juga bisa memberikan variasi yang berubah-ubah. Fungsi Tata Suara Tata suara itu meliputi beberapa hal seperti Audio System, Microphone, efek bunyi, dan alat musik. Tujuannya adalah membuat suara pemain saat berdialog membawakan naskah terdengar dengan jelas. Dalam seni Teater, Musik pengiring drama harus disesuaikan dengan suasana yang sedang berjalan. Jangan sampai dialog sedih, diisi dengan musik yang gembira. Jangan sampai musik pengiring lebih keras dari suara pemain. Ini semua menjadi tanggung jawab Tata Suara. Fungsi Kostum Kostum adalah pakaian kelengkapan yang dikenakan pemain dalam pementasan. Oleh karena itu kostum memiliki fungsi menghidupkan karakter aktor suku bangsa, usia, status sosial, Kepribadian. Kostum juga digunakan sebagai pembeda setting, artinya kostum dapat membedakan antara aktor satu dengan aktor lain. Kostum juga sebagai alat bantu bagi pemain peran, Kostum membuat aktor merasa nyaman pada setiap posisi yang diperankan. Kostum memberikan efek visual gerak dan dapat menambah keindahan. Fungsi Tata Rias Tata rias bisa dikatakan seni kosmetika. Artinya untuk menciptakan wajah aktor yang diinginkan sesuai dengan tuntunan naskah. Tata rias harus memperhatikan tata lampu agar tidak sia-sia. Kalau adegan dengan lampu redup, usahakan rias agak lebih cerah, kostum juga lebih cerah, dengan tujuan tokok tetap terlihat penonton. Tata rias bisa juga untuk merias tubuh, Mengatasi efek lampu, Membuat wajah sesuai dengan peranan yang dikehendaki. Akses instan ke jawaban di aplikasi kami Dan jutaan jawaban atas pertanyaan lain tanpa iklan Lebih pintar, unduh sekarang! atau Lihat beberapa iklan dan buka blokir jawabannya di situs Akses instan ke jawaban di aplikasi kami Dan jutaan jawaban atas pertanyaan lain tanpa iklan Lebih pintar, unduh sekarang! atau Lihat beberapa iklan dan buka blokir jawabannya di situs Pengertian Seni Teater Teater berasal dari kata Yunani adalah theatron sedangkan dalam bahasa Inggris adalah Seeing Identify yang artinya tempat gedung pertunjukan. Pengertian Seni Teater Menurut Para Ahli ane. Pengertian Seni Teater Menurut Moulton Menurut Moulton, drama adalah suatu kisah hidup yang dilukiskan dalam bentuk suatu gerakan life presented in activity. 2. Pengertian Seni Teater Menurut Balthazar Vallhagen Menurut Balthazar Vallhagen, drama adalah suatu kesenian yang melukiskan sifat dan watak manusia dengan suatu gerakan. 3. Pengertian Seni Teater Menurut Ferdinand Brunetierre Menurut Ferdinand Bruneterre, drama adalah seni yang harus melahirkan sebuah kehendak dengan suatu action atau gerak. iv. Pengertian Seni Teater Menurut Anne Civardi Menurut Anne Civardi, drama adalah suatu kisah yang diceritakan lewat sebuah kata-kata dan gerakan. v. Pengertian Seni Teater Menurut Seni Handayani dan Wildan Menurut Seni Handayani dan Wildan teater adalah suatu bentuk karangan yang berpijak pada dua jenis kesenian, yaitu seni sastra dan seni pentas. Fungsi Dan Peran Seni Teater Adapun beberapa fungsi dan peran seni teater adalah Sebagai sarana untuk meningkatkan apresiasi seni Sebagai sarana untuk mendapatkan suasana hiburan Sebagau sarana untuk memfasilitasi seni pertunjukkan yang merupakan hasil budaya masyarakat Sebagai sarana pertemuan antara buah pikiran seniman dengan masyarakat sehingga terjadi komunikasi dan penilaian. Unsur Unsur Seni Teater Unsur unsur seni teater dianataranya adalah i. Unsur Teater Naskah Lakon Cerita Lakon atau naskah adalah materi atau bahan baku yang dijadikan bahan pementasan untuk sebuah garapan Teater. Naskah Lakon adalah karya sastra dengan media Bahasa kata. Mementaskan drama berdasarkan naskah drama berarti memindahkan karya seni dari media bahasa kata ke media Bahasa pentas. Visualisasi karya sastra kemudian berubah esensinya menjadi karya teater. Pada saat transformasi Bahasa kata menjadi Bahasa pentas, karya sastra bersinggungan dengan komponen- komponen teater, yaitu sutradara, pemain, dan tata artistic. Struktur Naskah Lakon Teater Aristoteles yang membagi naskah menjadi lima bagian besar, yaitu eksposisi pemaparan, komplikasi, klimaks, anti klimaks atau resolusi, dan konklusi catastrope. Kelima bagian tersebut pada perkembangan kemudian tidak diterapkan secara kaku, tetapi lebih bersifat fungsionalistik. ii. Unsur Teater Sutradara Sutradara merupakan pimpinan utama kerja kolektif sebuah teater yang menentukan baik buruknya sebuah pementasan teater. Sutradara bertanggung jawab terhadap kelangsungan proses terciptanya pementasan juga harus bertanggung jawab terhadap masyarakat atau penonton. Fungsi Sutradara Teater Fungsi sutradara dalam karya cipta teater adalah penggagas pertama dalam mewujudkan karya pertunjukan, penafsir pertama terhadap naskah yang akan digarap, serta koordinator dalam melaksanakan kerja kolektif. Tugas pokok sutradara adalah mengatur laku para pemain teater untuk dapat mewujudkan gagasan gagasan sutradara agar dapat dikomunikasikan langsung kepada penonton. 3. Unsur Teater Pemain Pemain adalah unsur teater yang memeragakan tokoh di atas panggung. Pemain teater mempunyai wewenang membuat refleksi dari naskah melalui dirinya. Tugas Pemain Teater Pemain teater memiliki tugas mentransformasikan naskah agar dapat menghidupkan tokoh yang ada pada naskah lakon menjadi sosok yang nyata. Oemain teater harus mampu menghidupkan bahasa kata atau tulis menjadi bahasa pentas atau lisan. iv. Unsur Teater Tata Artistik – Pentas Panggung Pentas atau panggung merupakan tempat pelaksanaan pertunjukan teater. Panggung atau pentas ditata oleh seorang seniman penata pentas. Karya seni yang mewujudkan penataan pentas disebut tata pentas. Pentas pada prinsipnya merupaka karya seni yang ikut menjelaskan gagasan- gagasan yang terdapat dalam ceritera dalam bentuk visual dapat dilihat. Unsur artistik meliputi tata panggung, tata busana, tata cahaya, tata rias, tata suara, tata musik yang dapat membantu pementasan menjadi sempurna sebagai pertunjukan. Tata Panggung Teater Tata panggung adalah pengaturan pemandangan di panggung selama pementasan berlangsung. Tujuan Tata Panggung Teater Tujuan tata panggung adalah agar permainan dapat dilihat penonton dan dapat menghidupkan pemeranan dan suasana panggung. Tata Cahaya – Lampu Teater Tata cahaya atau lampu adalah pengaturan pencahayaan di daerah sekitar panggung yang fungsinya untuk menghidupkan permainan dan dan suasana lakon yang dibawakan, sehingga menimbulkan suasana istimewa. Fungsi Tata Cahaya – Lampu Seni Teater Penerangan Menyinari semua objek di atas panggung Dimensi membagi sisi gelap dan terang atas objek yang disinari sehingga membantu perspektif tata panggung. Pemilihan Tata cahaya lampu dapat dimanfaatkan untuk menentukan objek dan expanse yang hendak disinari. Atmosfir Menghadirkan suasana yang mempengaruhi emosi penonton. Tata Musik Teater Tata musik adalah pengaturan musik yang mengiringi pementasan teater yang berguna untuk memberi penekanan pada suasana permainan dan mengiringi pergantian babak dan adegan. Fungsi Tata Musik Teater Sebagai tanda pengenal suatu acara atau musik identitas cara soundtrack. Menciptakan efek khayalan atau imajinasi dengan menghadirkan suara-suara aneh di luar kelaziman. Sebagai peralihan antara dua adegan, sebagai fungsi perangkai atau pemisah adegan, Sebagai tanda mulai dan menutup suatu adegan atau pertunjukan. Tata Suara Teater Tata suara adalah pengaturan keluaran suara yang dihasilkan dari berbagai macam sumber bunyi seperti; suara aktor, efek suasana, dan musik. Tata suara diperlukan untuk menghasilkan harmoni. Fungsi Tata Suara Teater Menyampaikan pesan tentang keadaan yang sebenarnya kepada pendengar atau penonton. Menentukan tempat dan suasana terentu, keadaan tenang, tegang, gembira maupun sedih Menentukan atau memberikan informasi waktu. Bunyi lonceng jam dinding, ayam berkokok, suara burung hantu, dan lain sebagainya. Untuk menjelaskan datang dan perginya seorang pemain. Ketukan pintu, suara motor menjauh, dan suara langkah kaki, gebrakan meja, dan lain sebagainya. Tata Busana Teater Tata busana adalah seni pakaian dan segala perleng-kapan yang menyertai untuk menggambarkan tokoh. Fungsi Tata Busana Teater Mencitrakan keindahan penampilan Membedakan satu pemain dengan pemain yang lain Menggambarkan karakter tokoh Memberikan efek gerak pemain Memberikan efek dramatic Tata Rias Teater Tata rias dan tata busana adalah pengaturan rias dan busana yang dikenakan pemain. Gunanya untuk menonjolkan watak peran yang dimainkan, dan bentuk fisik pemain bisa terlihat jelas penonton. Fungsi Tata Rias Seni Teater Menyempurnakan penampilan wajah Menggambarkan karakter tokoh Memberi efek gerak pada ekspresi pemain Menegaskan dan menghasilkan garis-garis wajah sesuai dengan tokoh Menambah aspek dramatik. Tata Rias Usia Seni Teater Rias Usia merupakan riasan yang digunakan untuk merubah usia atau penampilan seseorang penari menjadi orang tua atau menjadi anak kecil. Tata Rias Tokoh Seni Teater Rias Tokoh merupakan riasan yang memberikan penjelasan pada tokoh yang diperankan. Misalnya memerankan tokoh Sinta Ramayana, atau Srikandi. Tata Rias Watak Seni Teater Rias Watak merupakan riasan yang digunakan sebagai penjelas watak yang diperankan pemainnya. Misalnya peran antagonis contohnya tokoh bawang merah atau peran protagonis contohnya tokoh bawang putih. 5. Unsur Teater Properti – Perlengkapan Pentas Properti adalah perlengkapan yang digunakan di atas panggung untuk membantu menjelaskan maksud yang terkandung dalam naskah. Perlengkapan teater dapat berupa benda-benda yang dihadirkan di atas panggung, atau juga benda-benda yang dipegang oleh para aktris dan aktor untuk mendukung permainannya. Properti yang diletakan di atas pentas untuk kebutuhan pementasan disebut stageprop atau perlengkapan panggung. Properti yang dipegang atau dibawa oleh thespian dan aktris selama pementasan teater disebut handprop. 6. Unsur Teater Penonton Penonton merupakan orang yang menyaksikan atau menonton karena ingin memperoleh kepuasan, kebutuhan, dan harapan terhadap karya seni teater. Simbol Karya Seni Teater Pada dasarnya pagelaran teater merupakan kegiatan seni yang mengungkap seperangkat symbol yang dikomunikasikan kepada penonton. Simbol- simbol yang digunakan sebagai sarana komunikasi dalam teater meliputi symbol visual, symbol verbal, symbol audutif, symbol 1. Simbol Visual Seni Teater Simbol visual adalah simbol yang nampak dalam penglihatan penonton. Simbol visual berwujud benda- benda, bentuk- bentuk, warna- warna dan barang-barang perkakas pendukung pementasan serta perilaku tubuh para pemain. two. Simbol Verbal Seni Teater Simbol exact merupakan symbol yang berupa kata- kata yang diucapkan dalam dialog dan monolog para pemain, narator, maupun dalang. Kata- kata yang diungkap merupakan teks naskah yang diciptakan oleh pengarang. three. Simbol Auditif Seni Teater Simbol auditif adalah simbol yang ditimbulkan oleh bunyi bunyian yang dapat didengar oleh penonton. Bunyi- bunyi tercipta oleh para pemain untuk menghasilkan kesan tertentu, atau bunyi yang dihasilkan dan dibuat sengaja sebagai tataan musik ilustrasi. Pada dasarnya musik adalah symbol. Fungsi Simbol Teater Simbol-simbol yang digunakan dalam pertunjukan teater berfungsi untuk memperkuat komunikasi ide-ide yang akan disampaikan kepada penonton. Nilai Estetis Seni Teater Nilai estetis atau nilai keindahan dalam pergelaran teater merupakan akumulasi dari nilai-nilai yang digagas dan dikomunikasikan kepada penonton. Adapun nilai nilai seni teater adalah ane. Nilai Emosional Seni Teater, Nilai emosional merupakan nilai yang didasarkan pada seberapa banyak penonton teater yang hanyut dalam suasana yang dibangun oleh struktur emosi. Suasana pagelaran dapat sedih, gembira, tragis, menyayat hati, tegang, mencekam, dan sebagainya. ii. Nilai Intelektual Seni Teater, Nilai intelektual merupakan nilai yang didasarkan seberapa besar penonton mendapatkan manfaat dari pertunjukkan. Nilai intelektual yang baik membuat Penonton akan mengalami pencerahan setelah menonton pertunjukan teater. Pertunjukan tersebut banyak memberikan nilai-nilai informasi tentang kehidupan sosial, spiritual, moral, dan sebagainya. three. Nilai Visual Seni Teater, Nilai visual merupakan nilai yang menyebabkan oleh penonton teater kerap merasa takjub melihat peristiwa pentas dengan segala perkakasnya yang speaktakuler hasil tangan-tangan kreatif para pekerja teater. iv. Nilai Verbal Seni Teater, Nilai exact merupakan nilai yang mendorong banyak penon ton yang kagum pada ungkapan kata -kata dari para pemain dengan teknik dinamika yang luar biasa, artikulasi yang jelas, serta irama yang dinamis. Jenis Jenis Teater i. Teater Boneka Boneka dipakai untuk menceritakan legenda atau kisah kisah religius. Berbagai jenis boneka dimainkan dengan cara yang berbeda. Boneka tangan dipakai di tangan sementara boneka tongkat digerakkan dengan tongkat yang dipegang dari bawah. Marionette, atau boneka tali, digerakkan dengan cara menggerakkan kayu silang tempat tali boneka diikatkan. 2. Drama Musikal Drama musical merupakan pertunjukan teater yang menggabungkan seni menyanyi, menari, dan akting. Drama musikal mengedepankan unsur musik, nyanyi, dan gerak daripada dialog para pemainnya. Disebut drama musikal karena memang latar belakangnya adalah karya musik yang bercerita. Karya musik bercerita kemudian dikombinasi dengan gerak tari, alunan lagu, dan tata pentas. 3. Teater Gerak Teater gerak merupakan pertunjukan teater yang unsur utamanya adalah gerak dan ekspresi wajah serta tubuh pemainnya. Penggunaan dialog sangat dibatasi atau bahkan dihilangkan seperti dalam pertunjukan pantomim klasik. four. Teater Dramatik Dramatik digunakan untuk menyebut pertunjukan teater yang berdasar pada dramatika lakon yang dipentaskan. Dalam teater dramatik, perubahan karakter secara psikologis sangat diperhatikan dan situasi cerita serta latar belakang kejadian dibuat sedetil mungkin. Karakter yang disajikan di atas pentas adalah karakter manusia yang sudah jadi, artianya tidak ada proses perkembangan karakter tokoh secara. Teater dramatik mencoba menyajikan cerita seperti halnya kejadian nyata. five. Teatrikalisasi Puisi Teatrikalisasi Puisi merupaka Pertunjukan teater yang dibuat berdasarkan karya sastra puisi yang biasanya hanya dibacakan dicoba untuk diperankan di atas pentas. Teatrikalisasi puisi lebih mengedepankan estetika puitik di atas pentas. Gaya acting para pemain biasanya teatrikal. Tata panggung dan blocking dirancang sedemikian rupa untuk menegaskan makna puisi yang dimaksud. Teatrikalisasi puisi menerjemahkan makna puisi ke dalam tampilan laku aksi dan tata artistik di atas pentas. Jenis Jenis Panggung Teater Beberapa jenis panggung yang sering dipakai untuk pentas teater diantaranya adalah panggung Arena, Proscenium, Jenis Panggung Teater – Arena Panggung loonshit adalah panggung yang penontonnya melingkar atau duduk mengelilingi panggung. Penonton sangat dekat sekali dengan pemain. Karena bentuknya yang dikelilingi oleh penonton, maka penata panggung dituntut kreativitasnya untuk mewujudkan prepare dekor. Kedekatan jarak antara pemain dan penonton dimanfaatkan untuk melakukan komunikasi langsung di tengah-tengah pementasan yang menjadi ciri khas teater tersebut. Aspek kedekatan inilah yang dieksplorasi untuk menimbulkan daya tarik penonton. Jenis Panggung Teater – Proscenium Panggung proscenium bisa juga disebut sebagai panggung bingkai karena penonton menyaksikan aksi aktor dalam lakon melalui sebuah bingkai atau lengkung proscenium proscenium curvation. Bingkai dipasangi layar atau gorden sebagai pemisah wilayah akting pemain dengan penonton, Aktor dapat bermain dengan leluasa seolah- olah tidak ada penonton yang hadir melihatnya. Pemisahan ini dapat membantu efek artistik yang dinginkan terutama dalam gaya realisme yang menghendaki lakon seolah- olah benar -benar terjadi dalam kehidupan nyata. Jenis Panggung Teater Thrust Panggung thrust seperti panggung pro-cenium tetapi dua pertiga bagian depannya menjorok ke arah penonton. Pada bagian depan yang menjorok ini penonton dapat duduk di sisi kanan dan kiri panggung. Bagian depan diperlakukan seolah panggung arena sehingga tidak ada bangunan tertutup vertikal yang dipasang. Sedangkan panggung belakang diperlakukan seolah panggung proscenium yang dapat menampilan kedalaman objek atau pemandangan secara perspektif. Kritik Seni Teater Krtik Seni teater terdiri dari dua model kritik, yakni kritik subjektif dan kritik objektif 1. Kritik Subjektif Seni Teater Kritik subjektif adalah kritik dari seorang kritikus dengan membuat ulasan berdasarkan pada selera pribadinya. Ketika dia membuat pernyataan bahwa pergelaran teater itu jelek, alasannya bahwa dia tidak suka. Sesuatu yang bagus menurut dia adalah sesuatu yang dia sukai, bahkan membandingkan dengan karyanya. Sebaliknya ketika dia mengatakan bahwa pergelaran teater itu bagus, karena memang dia suka garapan seperti itu atau mungkin ada hubungan personal dengan penggarap, karena penggarap itu temannya, saudaranya, atau keluarganya. Pandangan yang subjektif selalu tidak dapat dipertanggung jawabkan. Oleh karena ketika dia mengatakan jelek, dia tidak mampu menunjukan di mana letak kelemahannya. Begitu juga sebaliknya ketika mengatakan bagus terlanjur memiliki perasaan kagum sehingga tak mampu berkata-kata. Kritikus yang subjektif kadang-kadang punya kecenderungan berpihak pada seseorang, bukan pada karya yang ditontonnya. Tidak heran jika kritikus semacam itu akan menutup diri di luar yang dia sukai. Dalam kehidupan zaman sekarang, kritikus semacam itu diperlukan untuk mempopulerkan atau menjatuhkan seseorang dengan cara menggencarkan publikasi di mass media untuk mempengaruhi opini masyarakat tentunya dengan imbalan. ii. Kritik Objektif Seni Teater Kritik objektif adalah kritik yang selalu mengulas karya seni tidak peduli itu karya siapa. Kritik objektif dapat disebut kritik konstruktif bertanggung jawab. Oleh karena kritikannya dinyatakan menyatakan jelek, kritikus akan menunjukan di mana letaknya. Begitu juga ketika dia menyatakan bagus, harus mampu menjelaskan kenapa bagus. Kritikus semacam ini sangat dirindukan oleh kalangan seniman terutama seniman muda yang baru mulai terjun. Karya kritik yang objektif dapat dijadikan ajang pembelajaran guna kemajuan seniman muda selanjutnya. Dengan demikian kritik objektif dapat juga dikatakan kritik membangun. Artinya dia sangat bertanggung jawab atas kehidupan kekaryaan seni terutama teater di masa datang. Kritikus ini biasanya tidak dapat diintervensi oleh siapapun apalagi disogok, karena dia tidak bertanggung jawab pada siapun kecuali pada profesinya. Daftar Pustaka Setiawati, Puspita, 2004, “Kupas Tuntas Teknik Proses Membatikâ€, Absolut, Yogyakarta. Wartono, Teguh, 1984, “Pengantar Pendidikan Seni Rupaâ€, Penerbit Yayasan Kanisius, Yogyakarta. Darmawan, Budiman, 1988, “Penuntun Pelajaran Seni Rupaâ€, Ganeca Exact, Bandung. Sumardjo J., 2010, “Filsafat Seniâ€, Penerbit PT. Gramedia, Dki jakarta Sumardjo, J., 2000, “Filsafat Seniâ€, Penerbit ITB, Bandung. Soedarsono, sp., 1990, “Tinjauan seni. Sebuah pengantar untuk apresiasi seniâ€, Suku Dayar Sana, Yogyakarta. Hadiatmojo, Supardi, 1990, “Sejarah Seni Rupa Eropaâ€, IKIP Semarang Press, Semarang. Agus, 1986, “Seni, Desain dan Teknologiâ€, Pustaka, Bandung. Sahman, Humar, 1993, “Mengenal Dunia seni Rupaâ€, IKIP Semarang, Semarang. Rangkuman Ringkasan Naskah drama dibuat oleh pengarang sastrawan sebagai karya sastra. Naskah atau teks lakon drama memuat pesan-pesan pengarang tentang pengalamannya untuk mendapat tanggapan dari pembacanya atau penggarapnya. Pesan-pesan itu berupa nilai-nilai yang terhimpun dalam ide-ide. Sementara tema lakon merupakan seperangkat ide-ide yang dikomunikasikan kepada publik. Konsep pemilihan pemain akan sangat berpengaruh pada nilai publikasi. Selain konsep pemilihan pemain, pemilihan lakon yang akan digelar juga berpengaruh pada perhatian calon penonton. Konsep penyutradaraan menentukan juga bahwa pergelaran yang akan dilaksanakan mendapat perhatian masyarakat penonton atau tidak. Penentuan tempat harus bersesuaian dengan konsep-konsep lainnya dan membuat masyarakat penonton mendapat kemudahan akses untuk menyaksikannya. Penggunaan properti secara lengkap dan mewah, atau secara sederhana namun efektif akan membuat takjub penonton yang menyaksikannya Nilai estetis atau nilai keindahan dalam pergelaran teater merupakan akumulasi dari nilai-nilai yang digagas dan dikomunikasikan kepada penonton. Kritik subjektif adalah cara orang kritikus membuat ulasan berdasarkan selera pribadinya. Kritik objektif adalah kritik yang mengulas karya seni tidak peduli itu karya siapa. Kritik objektif dapat disebut kritik konstruktif bertanggung jawab. Oleh karena kritikannya dinyatakan jelek, dia akan menunjukan di mana letaknya. Begitu juga ketika dia menyatakan bagus, akan mampu menjelaskan kenapa bagus. Kritikus semacam ini sangat dirindukan oleh kalangan seniman terutama seniman muda yang baru mulai terjun. Karya kritik yang objektif dapat dijadikan ajang pembelajaran guna kemajuan seniman muda selanjutnya. Dengan demikian kritik objektif dapat juga dikatakan kritik membangun. Artinya dia sangat bertanggung jawab atas kehidupan kekaryaan seni terutama teater di masa datang. Kritikus ini biasanya tidak dapat diintervensi oleh siapapun apalagi disogok, karena dia tidak bertanggung jawab pada siapun kecuali pada profesinya.